26. Catatan Setelah Wisuda #30HariMenulis

Taufan Maulana Putera
3 min readSep 26, 2022

--

“Biar saya tau bahwa paling tidak, ada satu orang saja, bisa bernapas lebih lega, karena kamu sudah hidup. Ini yang namanya kamu sudah berhasil.” —Ralph Waldo Emerson

Photo by Francesco Ungaro on Unsplash

Agak terlambat memulai menulis, di rumah kedatangan orang-orang terkasih, jadi saya harus menunggu waktu yang pas dulu untuk bisa menulis. Karena tidak mungkin saya sibuk di depan laptop, sementara mereka sedang berada di sisi saya. Kehadiran mereka lebih berharga dibandingkan apapun.

Mengenai perayaan wisuda hari kemarin saya rasa cukup untuk euforianya. Tidak ingin bereaksi terlalu berlebihan, takut membuat diri ini jadi lebih besar dari kapasitas yang seharusnya. Karena tidak ada yang berubah apa-apa dari saya, hanya bertambah gelar di belakang. Sudah cukup itu saja.

Apakah dengan itu jadi banyak orang jadi terbantu? Nilai diri saya jadi bertambah? Tidak juga. Yang ada hanya diri ini yang berbangga.

Kadang kalimat ini yang suka menjadi rem, jadi pengingat kalau udah mulai berbangga diri, dan ingin bereaksi berlebihan.

“Orang tepuk tangan terhadap apa yang elu lakukan. Bukan terhadap diri elunya.” — Pandji Pragiwaksono

Dengan ini saya belajar untuk menahan diri dengan tidak mencari kesenangan melalui validasi eksternal.

Apalagi dengan kejadian ketika kemarin ada salah satu wisudawan yang meninggal, itu jadi nasihat untuk diri ini, mengingatkan untuk tidak hanya mengejar kesenangan belaka. Karena tidak bisa dipungkiri diusia saya yang masih kepala dua ini, masih muda, gampang silau tergoda untuk mengejar hal-hal yang mudah terlihat dan ga ada habisnya; ketenaran, harta, prestasi, dan lainnya. Sebenarnya dikejar ga masalah juga sih.

Tapi sepertinya lebih prestisius mengejar apa yang akan tegoreskan selamanya: dampak baik untuk orang, kebermanfaatan, berguna, ilmu, dan bisa menjadi contoh.

Jadi nyambung dengan pernyataan pak Fathul Wahid ketika menjelang penutupan sambutan:

“Tetaplah menjadi orang baik, yang keberadaannya dicari, kehadirannya dinanti, kepergiannya dirindui, kebaikannya diteladani, dan kematiannya kelak ditangisi.” — Fathul Wahid

Emang susah ya menjadi orang yang kematiannya kelak ditangisi. Tapi semoga saja bukan berarti tidak mungkin.

Jujur apalagi diusia yang masih muda, masih mencari jati diri, bingung mendefinisikan diri sendiri, belum mengetahui apa yang menjadi misi hidup kita, mana yang menjadi prioritas, dan mana yang tidak. Saya pun masih bingung jika ditanya. Sepertinya ini akan menjadi pencarian tanpa henti.

Tapi semoga saja kita bisa menemukannya, agar energi dan konsentrasi kita tidak terbuang percuma, dan bisa fokus untuk mengejar manfaat yang bisa kita lakukan.

Setelah wisuda, di usia masih 20 tahunan sepertinya tidak bisa langsung memetik, dan terlihat hasilnya. Di awal harus merasakan susahnya mencari pekerjaan, sakitnya ditolak sana-sini, kurang makan, serta dibarengi dengan menanam banyak ilmu; membaca buku, mengikuti pelatihan, dan apapun yang bisa menambah value diri.

Semoga kelak suatu hari di masa depan bisa merasakan manis hasilnya. Aamiin.

Selama berkuliah meskipun ada beberapa pencapaian dan pertumbuhan yang dihasilkan selama 4 tahun ini, hal-hal menyenangkan yang tidak ada pernah ada di daftar sebelumnya; menjadi ketua seminar Internasional, sekjend organisasi, kepala divisi, buat guide book Kelas Kepemimpinan, hingga bisa menulis 100 publikasi tulisan di Medium.

Rasanya masih belum cukup puas, karena pencapaian dan pertumbuhannya kebanyakan hanya sekadar di ranah level pribadi. Semoga suatu saat Allah mudahkan untuk bisa terwujud perubahan bagi lebih banyak orang, setidaknya ada satu orang yang merasa terbantu dengan hadirnya diri kita itu akan jauh lebih berharga.

Penggalan terjemahan puisi Ralph Waldo Emerson via koh Edward Suhadi yang saya suka:

“Bisa meninggalkan dunia ini nanti sedikit lebih baik, apakah dengan anak yang sehat, sepotong kebun, atau keadaan masyarakat yang terbebaskan;

Biar saya tau bahwa paling tidak, ada satu orang saja, bisa bernapas lebih lega, karena kamu sudah hidup,

Ini yang namanya kamu sudah berhasil.”

Nah, itu yang akan jadi cita-cita seumur hidup saya, ingin apa yang saya lakukan bisa lebih memberikan manfaat bagi lebih banyak manusia, yang tidak hanya mengejar keuntungan pribadi belaka.

Lalu bagaimana mewujudkannya?

Saya juga belum tau detail caranya bagaimana, tapi seperti awal dulu pertama kali bisa berkuliah tanpa tahu jalan dan caranya seperti apa, semoga di tengah-tengah perjalanan ditunjukan dan dimudahkan jalannya.

Kalau gagal bagaimana? Ya gapapa juga. Hehe. Barangkali manisnya buah dipetik bukan diusia saat saya dua puluhan, atau tiga puluh. Tapi kelak mungkin diusia lima puluh.

Yang terpenting menyakini hal baik yang sudah disadari saat ini, menjadi pegangan untuk melakukan sesuatu yang lebih besar di masa depan.

Terima kasih telah membaca sampai hari ini.

Taufan M. Putera
26 September 2022
Ditulis di Yogyakarta tercinta

--

--

Taufan Maulana Putera
Taufan Maulana Putera

Written by Taufan Maulana Putera

Insinyur elektro yang lebih suka hal lain dibandingkan keelektroan.

No responses yet