27. Yang Membuat Jauh #30HariMenulis

Taufan Maulana Putera
4 min readSep 27, 2022

--

Tanpa disadari disaat kita menolak teman meminjam uang, itu menyelamatkan tiga hal. Satu, menyelamatkan diri kita sendiri. Dua, menyelamatkan orang yang meminjam. Tiga, menyelamatkan hubungan kedua belah pihak.

Photo by 烧不酥在上海 老的 on Unsplash

Hari Sabtu kemarin, tiba-tiba ada teman lama SMA tidak pernah ada komunikasi apa-apa datang menghubungi saya. Dia menelepon dan mengirimi sebuah pesan. Berhubung di hari Sabtu saya sedang menghadiri acara wisuda teman-teman Elektro, dan mengikuti arak-arakan. Jadi tidak sempat untuk memegang handphone.

Saya membalas 1 jam setelahnya.

Singkat cerita, saya respon seperti ini.

“Gimana ada yang bisa dibantu?”

Terus, dia menjawab.

“Sebenarnya malu buat ngomong, punya tabungan ga? gue butuh suntikan dana dulu nih 5 juta. Nanti gue ganti di tanggal 15 pas dapet arisan”

Kita cukupkan dulu sampai di sana. Saya kaget dan tertawa membacanya. Hahaha.

“Aduh kebetulan aku masih kuliah nih, uang segitu kaga ada. Maaf banget ya..”

Lalu dia merespon cepat dengan..

“2 juta deh..”

“Ga ada juga ahaha.” Kata saya.

Sebenarnya saya tidak ingin mengangkat ini sebagai tulisan, tapi berubah pikiran sampai tadi pagi ketika saya bertemu seorang teman, disaat saya ada keperluan untuk melegalisir ijazah, kami ngobrol cukup lama di kantin, salah satunya dia membagikan cerita dengan kasus yang serupa. Menarik buat menuliskannya lebih lengkap.

Saya baru tau cerita soal ini, katanya sudah ramai beritanya. Maklum saya orang yang tidak pernah mau tau apa-apa soal orang lain, hahaha.

Selalu memposisikan diri sebagai orang yang ketika ‘mendengar kabar’ dari orang lain, tidak langsung menerimanya dengan mentah-mentah. Jadi tidak ada pandangan yang berubah terhadap orang tersebut, sampai saya mampu melihatnya sendiri. Karena kita tidak pernah tahu alasan di balik seseorang melakukan tindak sesuatu. Dan saya hanya mencukupkan untuk tau sekadarnya.

Bahwa, ternyata ada seseorang teman kami yang berhutang jutaan rupiah, sampai harus mengorbankan pertemanannya. Dan itu tidak cukup hanya berhutang ke satu orang.

Yang membuat kaget bukan jumlah uang yang dipinjam ya, melainkan adalah siapa yang meminjamnya. Karena saya mengenali orang tersebut adalah baik, kalau interaksi selalu memperhatikan lawan bicaranya, ga suka aneh-aneh, saya hafal betapa seringnya orang ini mengucapkan terima kasih, dan minta maaf. Itu yang sekadar saya tau.

Tapi, kejadian ini lagi-lagi saya seperti disadarkan. Bahwa, kita tidak pernah bisa mengetahui aslinya seseorang sampai kita berurusan uang dengannya.

Masalah uang itu emang sensitif. Saya sudah paling menghindari kalau berurusan dengan uang. Kalau ada lebih emang mending ngasih aja, gausah minjem, karena saya tidak mau kehilangan anda sebagai teman.

Tapi permasalahannya adalah disaat sama-sama kondisi membutuhkan, hanya mampu cukup dengan dirinya sendiri, sama-sama sedang lagi diwaktu menanam, masa-masa yang buat diri sendiri aja terkadang masih kurang. Kondisi yang demikian memang lebih diutamakan menyelamatkan diri kita sendiri dulu.

Tanpa disadari disaat kita menolak teman meminjam uang, itu menyelamatkan tiga hal. Satu, menyelamatkan diri kita sendiri. Dua, menyelamatkan orang yang meminjam. Tiga, menyelamatkan hubungan kedua belah pihak.

Masalah pinjam-meminjam uang ini rumit. Membuat orang yang dulunya akrab menjadi renggang, menghindari segala pertemuan, menjaga jarak, hilang-hilangan, jadi pembual, dan pelupa yang andal. Betapa jadi tidak tenang hidupnya, gelisah, takut, seperti sedang membuat sebuah penjara untuk diri sendiri. Membatasi ruang gerak.

Memang banyak juga yang tepat janji, banyak juga yang baik, banyak juga yang mengembalikan. Yang menjadi masalah adalah bermudah-mudahan untuk berhutang.

Mari kita ke sampingkan terlebih dahulu mengenai kondisi ekonomi. Sepertinya ini lebih pengaruh pada diri seseorang, mental dan pola pikirnya.

Mau semampu apapun orang, jika mentalnya dan pola pikirnya berhutang saya kira ya tetap akan berhutang. Lalu secukup atau sekurangnya kondisi ekonomi, jika mental dan pola pikirnya tidak bergantung sama orang lain, mandiri, dan pantang buat berhutang, saya kira tidak akan meminjam. Mempunyai harga diri, dan mempunyai kehormatan.

Orang yang baik tidak akan mengorbankan, atau merugikan orang lain demi memberi makan egonya sendiri.

Jadi kasus yang sering terjadi, kerap kali orang yang berhutang kalau ditagih jadi lebih galak. Kesannya menjadi kita yang sedang mengemis-ngemis meminta uang.

Hubungan yang dibangun sejak lama seperti sebuah air jernih. Gara-gara uang air tersebut sedikit demi sedikit menjadi keruh, akibat hilangnya kepercayaan.

Bagi seorang muslim, tidaklah berhutang dan tidak dilunasi menjadi sesuatu yang berat kelak akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah. Lebih berhati-hati. Apalagi kita masih muda. Kebiasaan yang kita lakukan saat ini, memberikan pengaruh ke pada masa tua.

Semoga kita bisa sama-sama bisa memupuk sebuah mental dan pola pikir, yang terbaik adalah dengan tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sebuah kehormatan diri, dan tidak bermudah-mudahan dalam berhutang. Kalau pun harus berhutang, semoga Allah memberikan kemudahan untuk bisa menggantikannya. Aamiin.

Terima kasih.

Taufan M. Putera
27 September 2022
Ditulis di Yogyakarta tercinta

--

--

Taufan Maulana Putera
Taufan Maulana Putera

Written by Taufan Maulana Putera

Insinyur elektro yang lebih suka hal lain dibandingkan keelektroan.

No responses yet