5. Mental Menjadi Korban #30HariMenulis

Taufan Maulana Putera
5 min readSep 5, 2022

--

Kita selalu punya kendali disetiap hal dalam hidup. Yang terbaik adalah dengan tidak memiliki mental menjadi korban. Semua hal yang terjadi menyalahkan orang lain. Padahal jangan-jangan masalahnya ada di kamu.

Photo by José Martín Ramírez Carrasco on Unsplash

Salah seorang teman ketika selesai TA, bilang. “Ah akhirnya gua bisa lepas dari dia (partnernya).

Disaat banyak yang berfoto di depan gedung Fakultas, sebagian ada yang enggan, memilih untuk langsung memisahkan diri. Dingin banget terhadap partnernya.

“Ga, ga ada foto bareng-bareng.”

“Temenan kami cuma sebatas di TA.”

Katanya.

Seperti seorang tawanan yang berhasil merdeka. Bebas dari kekangan selama ini.

Saya mengerti, pasti ada penyebabnya kenapa jadi begitu. Dan setiap orang bebas memilih keputusannya.

Salah satu pelajaran dari mengerjakan Tugas Akhir adalah mengenai bekerja dengan teman yang tidak terlalu kita kenal. Bekerja sama dengan orang yang kita gatau orangnya kayak apa.

Jangan kira dengan satu naungan prodi yang sama, kita bisa dekat dengan semua orang. Karena butuh waktu dan tenaga yang ekstra untuk itu. Apalagi pandemi dua tahun yang membuat kita jauh. Ga ada pertemuan fisik dan interaksi apa-apa yang mendekatkan.

Sebelum masuk mengerjakan Tugas Akhir, saya ingat beberapa orang yang memiliki teman dekat, berharap untuk bisa bersama-sama satu kelompok dengan sesuai topik yang diminati.

Lalu, keluarlah hasil nama kelompok beserta topik tugas akhir. Beberapa ada yang tersenyum lebar karena mendapatkan temen kelompoknya yang sudah lama akrab. Ada juga yang sudah sesuai rencana dan perjanjian dengan temannya. Tapi ada juga yang menghembuskan nafas panjang.

Ini bagusnya sistem Tugas Akhir jurusan kami. Kami bisa memilih topik yang kami minati, namun kami tidak bisa memilih bekerja dengan siapa. Jadi mau ga mau melatih dan menyiapkan diri ketika nanti masuk di dunia kerja yang cenderung tidak bisa memilih bekerja dengan siapa.

Kemampuan adaptasinya yang dilatih.

Memang, kalau bisa meminta mengerjakan TA dengan orang yang sudah kita kenal akan jaug lebih menyenangkan. Ada komunikasi yang sudah pernah terjalin.

Tapi mau tau? ternyata fakta di lapangan tidak menjadi jaminan. Ada yang sudah kenal lama dan akrab pun pada saat akhir, temannya memutuskan mengundurkan diri. Ada polemik diantara keduanya.

Pun saya skeptis ketika mendapatkan nama teman partner saya ini. Khawatir tidak bisa perform dengan maksimal. Tapi bismillah, saya akan tetap mencobanya.

Sebagi orang yang suka menanyakan dan mendengar cerita orang. Ada aja mendengar keluhan dari teman-teman. Soal partnernya yang ga inisiatifan. Ada juga yang ngeluh-ngeluh di sosial media soal betapa nyebelin partnernya.

Saya selalu percaya, kita punya kendali atas keadaan yang ada dihadapan kepada kita (setelah pertolongan Allah). Bukan bermaksud jumawa, melainkan keyakinan paling ga kita akan mencobanya.

Punya partner TA yang pendiem. Jadi orang yang pertama ngajak bicara.

Partner TA ga inisiatifan. Jadi orang yang menghubungi duluan.

Punya partner TA yang pasif, kita yang aktif.

Bukan jadi malah adu diem-dieman. Siapa yang paling kuat tidak menghubungi duluan. Lalu bermental sebagai korban:

“ah ga beruntung gua dapet dia.”

“yaudah lah, mau gimana dapetnya begini.”

“ujian banget gua TA sama dia.”

Sekali lagi, kita punya andil terhadap sesuatu yang kita jalani. Itu yang sekarang saya pelajari dan bagian dari proses tanpa henti: menolak bermental menjadi korban.

Salah satu yang membantu dan membuat saya tetap teguh berjalan karena prinsip ini yang saya pegang; bekerja untuk diri sendiri.

Makna sederhananya: Bekerja untuk diri sendiri yaitu sebuah etos kerja sampai ditahapan ada atau tidaknya orang lain; dosen kek, atasan, ketua panitia, dll. Kita akan tetap bekerja. Sama bagusnya, sama mengeluarkan energi dan usaha semaksimal yang kita bisa.

Karena orientasinya bukan mendapatkan apresiasi dari orang lain. Tapi lebih untuk menghargai diri kita sendiri, supaya diri kita lebih banyak berkembang. Kita jadi ga bergantung dengan orang lain.

Dalam kasus mengerjakan Tugas Akhir ini, ya tujuannya bisa menyelesaikannya dengan kemampuan terbaik yang kita bisa. Bisa mengeluarkan 100% ya kita keluarin 100%. Jangan 60% karena hanya asal jadi. Asal selesai. Padahal kita sendiri mampu lebih dari itu. Itu yang namanya tidak menghargai diri sendiri.

Mempunyai mental menjadi korban. Sama-sama diem, sama-sama pasif, ga ada yang mau inisiatifan memulai, dan tidak ada komunikasi yang terjalin. Tanpa disadari dikejar dosen karena ga ada progres, ga perform dengan maksimal. Kemudian kalimat andalan yang selalu dikeluarkan kita semua adalah menyalahkan temen kita. Padahal jelas-jelas kita yang salah.

Memang, kalau lah ada satu kemampuan, yang harus banget dimiliki orang-orang, sebelum dia jago nyolder, merangkai rangkaian listrik, atau mendesain PCB, yaitu punya mental menyalahkan diri sendiri.

Di awal juga saya kesulitan dan memiliki keluhan yang sama. Terlebih karena tidak bertatap muka secara langsung. Namun di akhir-akhir sampai tahap kami sudah bisa bertukar cerita, ketawa-tawa bersama, saling mengangkat, dan tidak saling menyalahkan.

Ya pada akhirnya hal-hal yang saya takuti di awal, mengenai tidak bisa perform dengan maksimal, dan ketakutan-ketakutan lainnya tidak terjadi sepenuhnya. Bahkan tidak menyangka kami lulus mendapatkan nilai yang di luar ekspektasi kami. Begitu bangga bisa memperolehnya.

Saya inget, satu hari sebelum kami sidang, sehabis latihan presentasi saya mendekatkan diri kepada teman saya, duduk tepat disebelahnya dan berkata, “Mal aku mau ngomong..”

Saya sampaikan semua perasaan selama kurang lebih satu tahun ini kepadanya.

Meminta maaf jika terlalu dominan, maaf karena terlambat jadwal sidang, berterima kasih sudah sabar karena saya rewel banyak mintanya, dan mengucapkan terima kasih telah berjuang bersama-sama selama ini.

Saya suka diri ini yang berterus terang sama orang. Karena bagi saya, yang saya takutkan adalah perasaan menyesal. Takut terlambat lalu momennya hilang hanya karena gengsi.

Lalu jika kita yang saat ini, atau kedepannya akan menemukan sebuah tempat baru, entah itu lingkungan kerja, komunitas, organisasi, dan pertemanan. Bila kondisinya dingin, stagnan, atau bahkan bermusuhan.

Jadilah orang yang menghangatkan. Kita itu punya pengaruh melebihi dari apa yang pikir. Paling tidak kita sudah berani untuk mencobanya.

Karena jika kita berharap orang lain datang membantu merubah keadaan kita, mereka juga sedang disibukkan dengan kepentingan mereka sendiri.

Satu-satunya orang yang bisa diandalkan adalah diri kita sendiri. Karena ga selamanya orang akan peduli dengan kita.

Mari sama-sama berlatih untuk tidak mempunyai mental sebagai korban. Hanya berpangku tangan berharap datangnya keajaiban.

Kita bisa mulai berlatih dengan cara yang sederhana. Seperti makan siang. Jika teman menanyakan, “mau makan di mana?”

Kita jawab, “Terserah elu deh, gua ikut”

Lalu didapati ternyata rekomendasi temen kita makanannya ga enak dan mahal. Lalu kita salahin temen kita tadi.

Padahal jelas-jelas yang salah adalah kita.

Kita bisa aja turut andil buat memilih, “Eh kayaknya lebih enak di sana. Cobain yuk.”

Hehe. Terima kasih.

Shout out to my partner — Akmal Murad. Cheers bro! Haha

one of the best memories

Taufan M. Putera
05 September 2022
Ditulis di Yogyakarta tercinta

--

--

Taufan Maulana Putera
Taufan Maulana Putera

Written by Taufan Maulana Putera

Insinyur elektro yang lebih suka hal lain dibandingkan keelektroan.

Responses (1)