Berhenti Sebelum Mencapai Puncak
Jika segala apa yang kita perjuangkan, kita dapat mengetahui estimasi waktunya. Kita bisa tahu kapan tiba menuju puncak tujuannya. Saya rasa itu membuat kita akan lebih sabar dalam berjuang. Dan lebih tabah dalam berusaha.
Menulis di penghujung bulan November. Mencoba untuk mengingat kembali di mana diri ini satu tahun kemarin. Sepertinya saya sedang disibukkan dengan Tugas Akhir (semester 7), mencari tempat Kerja Praktik, menuju demisoner organisasi Laboratorium Mahasiswa (LabMa), dan program Kerja Kelas Kepemimpinan.
Di bulan yang sama, namun dengan tahun yang berbeda. Sama-sama memperjuangkan sesuatu, namun apa yang diperjuangkan berbeda. Yang masih disyukuri, karena tetap masih ada ambisi sesuatu yang ingin dicapai, dan diusahakan.
Ini yang membuat diri ini selalu tidak sabar ketemu besok, lusa, pekan depan, dan tahun depan. Selalu penasaran diri ini akan berada di mana.
Meski tidak pernah mengetahui apa yang sedang diusahakan akan berhasil atau tidak.
Tapi satu hal yang saya pegang, dan membuat saya tetap berani mempunyai cita-cita, yaitu berusaha aja.
Saya ingin bercerita mengenai akhir pekan kemarin saya melakukan suatu agenda perjalanan yang sama sekali tidak pernah masuk dalam daftar keinginan saya dalam hidup; mendaki Kawah Ijen.
Mendaki gunung Semeru, mengikuti lari maraton. Itu sudah jelas menjadi salah dua keinginan saya dalam hidup. Tapi tidak dengan pergi ke Kawah Ijen. Namun bukan hidup namanya jika tidak penuh dengan kejutan.
Ini menjadi pengalaman perdana yang begitu berkesan. Hingga ketika saya pulang dari Kawah Ijen ada beberapa hal yang menjadi sorotan. Saya memutuskan untuk menuliskannya, sayang jika hanya menetap di dalam kepala. Jika ada bentuk wujudnya, lebih baik.
Mengenali diri ini tipe yang butuh affirmasi positif, meski sering kali sudah mengetahui jawabannya. Tapi tulisan ini juga menjadi pengingat ketika saya merasa kehilangan diri. Merasa rendah diri, dan perasaan buruk lainnya.
Spoiler Menuju Puncak
Dari sebelum berangkat mendaki, salah satu petugas memberi tahu kami mengenai perkiraan lamanya menuju puncak kurang lebih sekitar 2 jam. Saya mencari di Internet, jarak puncak ketinggian dari Kawah Ijen 2.769 m.
Angkanya jelas, ada angka pasti. Itu yang membuat saya dan teman-teman merasa lega.
Berangkat mendaki jam 2 pagi dengan mata setengah ngantuk, badan menggigil karena dingin yang menusuk, dan perasaan tidak nyaman lainnya.
Beberapa orang mungkin akan berkata, “Hihh ngapain capek-capek, mending tidur. Atau di rumah aja Netflix-an”
Tapi dipikir-pikir ketika saya SMA dulu berpikir yang sama. Melihat teman-teman yang mendaki, bawa tas ransel berat, susahnya buang air kecil, capek, belum lagi kalau hujan, dan hal ribet lainnya.
Lantas saya yang sekarang menyadari jika berada di rumah memang terbaik. Namun, jika tidak pernah mencoba apa-apa, yang diri ini tidak pernah biasa lakukan dalam hidup, seperti saya akan menyesal.
Ternyata untuk mencapai puncak keindahan harus bersusah payah ya. Harus tidak nyaman. Beberapa kali jalanan menanjak, terpeleset karena jalan licin, dan menahan beratnya barang bawaan.
Karena kami tau spoiler menuju puncaknya, itu yang membuat kami tetap bersemangat. Apalagi melihat banyak orang-orang lain yang sedang sama berjuangnya seperti kita.
Kerap kali kami mengambil jeda untuk beristirahat, ada orang-orang yang melintasi kami dengan mengucapkan perkataan,
“Semangat mas, yuk bisa-bisa.”
“Ayo mas, ngejar blue fire.”
“Tinggal dikit lagi sampe.”
Itu kami jadi tertular energinya.
Menyadari jika penting banget dalam hidup mempunyai orang-orang yang selalu mendukung kita. Jika punya satu atau dua, maka beruntunglah.
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, sudah dua jam kami mendaki. Tidak menyangka sudah sangat jauh kami berjalan. Pukul setengah 5 paginya, dengan matahari yang sudah mulai meninggi, kami berhasil mencapai puncak dari Kawah Ijen.
Kiranya saya juga lupa dengan rasa capek yang saya rasakan ketika berada di puncak. Rasa capeknya kalah dengan perasaan bahagianya.
Lalu, bagian ini yang penting..
Jika segala apa yang kita perjuangkan, atau yang kita lakukan dalam ‘hidup’ itu seperti halnya mendaki Kawah Ijen, atau melakukan apapun yang kita bisa tahu estimasi waktunya. Kita bisa tahu kapan tiba menuju puncak tujuannya, saya rasa itu membuat kita akan lebih sabar dalam berjuang. Lebih tabah dalam berusaha.
Tapi ternyata hidup sering sekali tidak sesederhana itu. Abstrak. Tidak ada sama sekali kepastian. Entah di bulan ke berapa skor TOEFL menyentuh 500. Dilamaran kerja ke berapa akhirnya dapat panggilan kerja, diusia berapa akan menikah, dikaruniai anak, dan lain sebagainya.
Karena ketidaktahuan tersebut yang membuat kita menyerah di tengah perjalanan. Membuat kita putar balik sebelum mencapai tujuan. Atau bahkan kita sama sekali tidak berani untuk melakukannya.
Tapi 1000 langkah yang dikeluarkan tidak senilai dengan 0 langkah. Tetap jauh lebih berharga 1000 langkah yang kita keluarkan karena mau bergerak meski gagal. Dibandingkan dengan tidak pernah mencoba sama sekali.
Saya yang tidak pernah menyangka diri ini sanggup berjalan 2 jam untuk mendaki, dan 2 jam untuk turun. Total kurang lebih 4 jam perjalanan.
Kalau tidak pernah dicoba, kita tidak pernah tau batas diri kita sampai mana.
Proses Yang Tidak Enak
Sebelum mencapai puncak, ‘proses’nya begitu ga enak. Kejadian gas belerang yang keluar dari kawah membuat kami kepayahan. Kami tetap memaksa berjalan pelan-pelan dengan mata yang memerah karena asapnya memedihkan. Hidung yang sulit bernapas karena menggunakan masker yang begitu tebal. Batuk-batuk karena udara yang dihirup menyesakkan.
Itu sama seperti, ‘proses’ temen-temen yang sedang berjuang dalam apapun. Sulitnya mengejar skor TOEFL yang diinginkan, penolakan daftar beasiswa sana-sini, nangis betapa susahnya belajar IELTS, frustasi karena lamaran pekerjaan yang tidak kunjung dapet panggilan, dan tiga kali harus mengulang mata kuliah.
Hehe sayangnya memang tidak ada jalan pintas dalam mendapatkan semua itu.
Saya pun lupa, baru dua bulan selepas wisuda, lalu saya ingin segera buru-buru balapan dengan nasib baik orang lain di luar sana. Padahal jelas berbeda.
Jadi lupa dengan apa yang sedang diperjuangkan, serta goyah dan mempertanyakan diri, “Apa yang gua ambil bener ga ya?” Padahal ketika belum memulai, jelas-jelas sudah yakin dengan segala konsekuensi yang terjadi.
Perasaan tadi muncul karena terlalu sibuk melihat jalannya orang lain.
Ketika berhasil menuju puncak Kawah Ijen, di atas sana sudah terlihat banyak orang. Menyadari ternyata gapapa juga pada saat kita mendaki sering mengambil istirahat, atau mungkin jalannya lebih lambat dibandingkan pendaki yang lainnya.
Pada akhirnya kita sama-sama berhasil dan bisa menuju puncak. Cuma waktunya yang berbeda.
Sama seperti halnya jika pada saat ini, apa yang kita sedang perjuangkan kok kelihatan kemajuannya begitu lambat, sedangkan orang-orang begitu cepat.
Percayalah, semoga suatu saat akan tiba waktunya..
Tugas kita cuma bertahan dan terus berjalan.
Terima kasih.
Taufan M. Putera
30 November 2022
Ditulis di Kediri